Sabtu, 11 April 2020

Lupus 1986

Gara-gara Live IG bersama teman saya Harry, yang sama-sama mengkoleksi  buku-buku jaman dulu. Malam itu akhirnya saya memutuskan untuk membaca lagi Kejarlah Daku Kau Ku Jitak. Buku favorit saya jaman SD dulu. Padahal Lupus sendiri adalah bacaan anak SMA kala itu. Tapi saya membacanya dan saya suka sekali. Maksudnya saya suka sekali membaca, pun menyukai Lupus.

Ada sedikit ragu dalam hati ketika cover depan novel ini ada di hadapan saya. Duh, ribet amat yah. Baca mah tinggal baca aja kali Nik. Ujar kata hati saya yang menguasai sebagian hati sebelah kiri. Namun kata hati saya yang sebelah kanan saya sebaiknya waspada. Efek yang ditimbulkan dari menyusuri kembali masa lalu memang cukup besar biasanya. Apakah menjadikan hati saya bahagia, ataukan menimbulkan kesedihan yang akan merusak kenyamanan saya malam itu.

Teori saya tentang kenangan memang sedikit pesimis. Dalam kamus hidup saya, tidak ada yang namanya kenangan indah. Meskipun kenangan yang berupa sekelebat tawa, senyum bahagia dan indahnya rupa, tetap saja menimbulkan efek pedih meski hanya setitik.

Nggak percaya?

Lalu saya pun melakukan beberapa eksperimen untuk membuktikan kebenaran teori saya ini, karena selama ini saya tidak pernah serius menggarap teori ini. Hanya dirasakan, lalu sibuk bertanya dalam hati.. 'lho kok gini ya? ini kan kenangan indah.. kenapa aku nangis?'. Ituuuuu terus yang saya tanyakan dan rasakan. Hingga akhirnya saya pun merasa harus menelusuri dan mencari bukti bahwa pemikiran saya benar adanya.

Mengingat-ingat kenangan indah bersama Bapa. Hmmm... Aha! Lagu Bapa untuk saya. Begini bunyinya :

'Manik Purwakrishna.. Camperenik Panggeulisna..
Saur Bapanaaaaaaa..'

Lalu ia menggelitik pinggang saya.

Hmmm.. Tuh kan, ini seharusnya indah. Namun sekarang saya tidak bisa membendung air mata.


Saya mencoba objektif. Mungkin saya sedih karena Bapa udah nggak ada. Jadi kesedihan saya ini lebih kepada karena kangen Bapa.

Oke, failed!

Kita lanjutkan mengingat kenangan indah bersama orang yang disayangi dan masih ada. Ibu.
Kenangan manis saya sama Ibu... mmmm.. banyak. Oke kalo gitu, masa ketika saya menjadi juara 1 lomba busana di acara 17 Agustusan di komplek rumah saya.
Saya nyaris ingat semuanya. Baru masuk SD kala itu. Saya memakai baju adat Jawa berwarna Nila. Sanggulnya, asesorisnya, semua milik sendiri. Ibu yang beli. Make up nya, Ibu yang dandani. Memang saya nampak lebih sederhana dari yang lain. Yang lain nampak lebih mewah karena rata-rata menyewa di salon atau tempat penyewaan baju daerah.

Saya bahagia, Ibu pun bangga. Mungkin tak hanya bangga karena putri semata wayangnya jadi juara, namun ia pun bangga akan hasil karyanya yang mampu mengalahkan salon-salon kenamaan.
Hmmm.. saya pedih lagi. Kebersamaan macam itu tak kan terulang kembali. Kini Ibu yang lebih sering menanyakan pendapat saya tentang penampilannya.

Teori saya hampir mendekati kebenaran.
Berkali-kali memikirkan kenangan indah dan hasilnya tetap sama bahkan ketikan saya mencoba menerapkannya pada kenangan indah yang terkini, yaitu anak-anak sendiri.


FIXED!


Saya tetap sedih mengingat Malaki yang masih bayi, dan masa-masa Mirkal yang belum tumbuh gigi.
Dan setelah ditelusuri, semua kenangan indah ini, menjadi menyakitkan karena satu alasan, yaitu..

TAK AKAN TERULANG KEMBALI.


Teori saya valid. Kenangan indah itu tidak ada. Semua kenangan itu menimbulkan kepedihan meski sekecil debu. Untuk itu, nama yang paling tepat untuk mengganti kenangan indah ya hanya.. KENANGAN MASA LALU. Kenangan yang telah berlalu. Kenangan yang tak akan pernah kembali.




Baik. Kembali pada Lupus. Akhirnya saya memutuskan untuk membacanya. Saya kembali ingin membuktikan teori ini, walaupun saya sudah sepakat akan kebenarannya. Namun saya kembali merasa harus mengetes ulang. Siapa tau teori saya sudah berubah. Bukankah ilmu pengetahuan itu berkembang? Bahkan Newton saja akhirnya ada yang memperbaharui. Apalagi teori receh macam saya yang metodenya hanya memakai perasaan.


Membuka halaman pertama, seraya mencium bau lama dari kertas yang telah menguning, membuat saya termenung mengingat dua orang yang memperkenalkan saya pada buku favorit saya ini.
Tentu saja ada yang memperkenalkannya, karena saya dulu anak SD yang hobby baca novel. Setelah ngefans banget sama novel-novel terjemahan karya-karya Enid Blyton dan Astrid Lindgren, menemukan Lupus seperti menemukan taman bermain yang baru. Tata bahasa sehari-hari jauh dari EYD, tokoh yang lucu, dan yang pasti dari berbagai faktor yang ada, yang paling penting kenapa saya menyukainya adalah karena Lupus membuat Manik kecil begitu bahagia.
Dan dua orang yang memperkenalkan saya pada Lupus, yaitu kakak-kakak sepupu perempuan saya, kini telah tiada.

Saya masih mencoba untuk terus membacanya. Kini buku ini terasa begitu tipis untuk ukuran sebuah novel. Bab demi bab yang dulu membuat saya terpingkal-pingkal saat membacanya kini tidak lagi. Mungkin akibat kelucuan-kelucuan yang lebih dahsyat lainnya yang saya alami dalam hidup saya. Sehingga kekonyolan Lupus tak lagi terlalu menggelitik otak saya yang kini sudah dewasa. Lupus mampu membuat Manik kecil 30 tahun yang lalu terbahak-bahak. Kini, Manik dewasa hanya tersenyum.

Buku Kejarlah Daku Kau Ku Jitak sudah saya tamatkan.
Lalu apa yang saya rasakan?
Ternyata saya sudah terperosok jauh ke jurang kepedihan yang mendalam. Bukan hanya terkenang momen tertawa saat membacanya di akhir tahun 80an itu bersama dua kakak sepupu perempuanku. Tapi kepedihan atas cerita Lupus itu sendiri.

Sedih mengenang tahun-tahun yang sarat akan kesederhanaan jaman.
Pedih mempertanyakan kehadiran tokoh-tokoh di buku itu kini. Masihkah ada di suatu tempat, atau berada bersama sepupu-sepupuku di sana.
Perih karena aku telah berada di masa yang sangat jauhhhhh dari usia Lupus tokoh idola masa kecilku itu. Bahkan mungkin usiaku kini lebih tua dari tokoh ibu Lupus.
Dan yang paling menyakitkan adalah menyadari bahwa waktu tak kan pernah kembali lagi.


Lupus. Cetakan pertama tahun 1986. Kenangan masa lalu yang selalu akan ku simpan rapi dalam kotak kecil berpita biru muda di salah satu sudut hatiku. Sesekali kan ku buka jika ku rindu Manik kecil yang rambutnya diikat buntut kuda.

Jadi melalui tulisan ini saya nyatakan, bahwa teori kenangan-indah- itu-tidak ada, akan segera saya publikasikan sebagai penemuan saya terbaru.

Lam Niez,


Manik Prajana