Minggu, 03 April 2016

Pendidikan Kecewa untuk Anak

Badai Pasti Datang.

Begitu judul undangan kajian Islam ilmiah yang saya baca beberapa bulan lalu. Cukup jleb, mengingat saya pun baru baca berita tentang PHK di beberapa perusahaan di Indonesia saat ini.
Bukan ingin sok berat ngomongin PHK-PHK-an, atau ngomongin keadaan ekonomi Indonesia. Toh jujur saya ngga paham betul soal ini. Apalagi dikaitkan dengan krisis ekonomi dunia. Sudahlah. Saya beneran ngga ngerti. Ini bukan bidang saya. Saya tuh baca berita aja kadang headline-nya doang.

Tapi mendengar kata PHK, saya sangat merinding, semerinding membayangkan ada sepasang mata menyeramkan yang mengintai saya dari jendela kamar.

PHK.
P.
H.
K.

PHK.

Mendengarnya saja saya langsung ingin menutup mata dan telinga.
Ngga cuma bikin merinding. Tapi sekaligus bikin lutut saya bergetar kaya ketemu 'musuh-musuh' saya. Maklum saya seorang Alektorophobia* dan Cynophobia*. Mungkin sekarang harus ditambah lagi dengan PHKphobia.

...menghela nafas panjang...
 
***

Bukan ingin sok-sok-an prihatin pada korban PHK. Tapi ketahuilah bahwa saya sangat merasakan situasi itu. 

Bapak saya di-PHK di tahun 1998. Sama dengan hampir 7 juta orang yang di PHK di Indonesia berdasarkan data Depnaker tahun yang sama. Ya, Bapak mungkin termasuk di dalamnya. 

Saat itu saya baru aja masuk kuliah tingkat pertama. Belum banyak mengerti tentang beratnya kehidupan. Tapi yang pasti waktu itu saya mulai bertanya.. Kenapa Bapak sekarang setiap hari di rumah? Biasanya bahkan di Bandung aja jarang. Bapak selalu ada di proyek, di luar Bandung dan luar pulau Jawa. 

Dan begitulah akhirnya mereka bicara pada anak-anak bahwa Bapak tak lagi bekerja. Kita semua harus sama-sama prihatin dengan keadaan ini sampai Bapak punya pekerjaan baru lagi.

Saking besarnya issue PHK kala itu, sampai-sampai Universitas mengumumkan bahwa ada beasiswa khusus untuk mahasiswa korban PHK. Artinya saya memang tidak sendiri. Banyak mahasiswa lainnya mengalami hal sama dengan saya.

Singkat kata, sejak saat itu musik bagi saya tak sekedar hobby. Tapi arena mencari rejeki. Allah Maha Mengatur, saya pun lalu diajak bergabung dengan band yang akhirnya menjadi 'kantor' saya selama 15 tahun. Setengah perjalanan kuliah saya, saya membiayai sendiri semuanya. Alhamdulillah.


***

Andai saya sering diberi tahu, bahwa hidup tak selamanya indah.
Andai saya sudah dibekali, bahwa akan ada kejadian-kejadian mengejutkan dalam hidup yang kadang tak sesuai rencana.
Andai saya sering diberi informasi, bahwa hidup memiliki tawa dan tangis.

Mungkin saya tak akan terlalu shock. Mungkin saya tidak akan menatap iri teman-teman saya yang beruntung. Mungkin saya bisa lebih kuat.
Tapi saya bukan menyalahkan orang tua. Saya yakin mereka sepanjang hidupnya selalu berjuang untuk saya dan kaka adik saya agar kami selalu terpenuhi segala-galanya dan bahagia. Begitulah cita-cita semua orang tua. Semoga Allah menyayangi orang tua saya seperti orang tua saya menyayangi saya sewaktu kecil.

Namun dari semua kejadian yang pernah saya alami, saya pun belajar banyak untuk menjadi orang tua yang lebih baik lagi. Orang tua yang mendidik tak hanya soal aspek-aspek kecerdasan, tapi juga mendidik berbagai aspek kehidupan, yang di dalamnya ada sebuah hal bernama bahagia, dan sebuah hal bernama kecewa yang berakhir duka.

Maka kini, walaupun anak-anak saya masih berusia dini. Saya dan suami tak pernah ragu untuk mengatakan berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan kita, kini dan di kemudian hari. Mungkin mereka belum paham betul apa yang kami katakan. Tapi saya yakin pembiasaan istilah-istilah ini akan mereka mengerti nanti. Mereka jauh lebih cerdas dari yang kita bayangkan.

Pada mereka, kami katakan :

1. Kalian tak selamanya selalu mendapatkan apa yang kalian inginkan. 

Haha. Berat ya nampaknya? Apalagi buat anak sekecil Mirkal yang baru 3 tahun. Tapi begitulah.. Saya dan suami tak selalu memberikan apa yang mereka inginkan walaupun mereka menjerit-jerit sekali pun. Jeritan dan tangisan itu akan berakhir jika mereka lelah. Cuma kita nya aja yang harus tahan diliatin orang.. :p
Maknanya ya biar mereka paham aja, bahwa kita tak selamanya punya uang untuk memenuhi keinginan mereka. Bisa jadi karena keadaan ekonomi kami sedang tidak terlalu beruntung, atau bisa jadi karena apa yang mereka inginkan memang tidak mereka perlukan. Hanya sekedar keinginan yang diliputi hawa nafsu.

2. Jika punya keinginan, mintanya sama Allah. 

Lucu rasanya mendengar percakapan suami saya dan si bungsu.
'Pop, Mirkal mau Hotwheels...'
'Mintanya jangan ke Popop dong, tapi sama siapa?'
'Allahhhh...'
Hihihii.. dibiasain aja dulu. Nanti juga paham. Emangnya jaman kita dulu langsung ngerti arti lagu Potong Bebek Angsa atau Balonku??? Saya yakin di usia itu kita cuma hafal, yang nyanyinya juga belum pake penghayatan :p
Sampai akhirnya suatu ketika saya sedang bicara sendiri, dan mengungkapkan sebuah keinginan..
'Duh, Momom pingin makan nih..' Dan Mirkal nyeletuk...
'Mintanya sama Allah..' HAHAHAHAHAHAHA!! Kzl.
Maknanya ya biar mereka belajar tentang TAUHID, dan belajar untuk bergantung sama Allah. Bukan kepada ayah dan ibunya, karena orang tua juga manusia yang tak selamanya ada untuk mendampingi mereka.

3. Kita semua pasti meninggal.

Jika dulu kata-kata meninggal yang terucap didengar orang tua langsung diikuti oleh kata naudzubillah atau amit-amit, tidak demikian dengan anak-anak saya. Mereka kami biasakan untuk biasa-biasa saja menghadapi kata meninggal. Ya meninggal, bukan sebuah kata yang harus diamit-amiti, karena memang benar-benar pasti terjadi. Saya katakan pada mereka bahwa saya dan ayahnya pasti meninggal tapi entah kapan. Begitupun dengan mereka.
Maknanya ya agar mereka mengerti makna kehilangan, mengerti menerima takdir Allah, dan siap dengan apa yang akan terjadi.
Ketika menerapkannya pada mereka memang sedikit agak drama. Saya sendiri sedih. Tak sanggup membayangkan akan meninggalkan mereka saat mereka masih butuh bimbingan kami. dan tak sanggup pula membayangkan kehilangan mereka. Kali ini, kami semua belajar bersama.
Kini, Malaki malah sering ngomong kaya gini kalo saya lagi sakit.
'Momom, sakit? Tapi jangan meninggal yah. Nanti aja kalo Kayi udah gede.' Hahahahhahahahha.. Tawaku berderai sambil mengalirlah air mataku.

***


Badai pasti berlalu itu bermakna positif dan mengobarkan semangat, tapi kita pun jangan lupa bahwa badai pasti datang, agar kita selalu menggantungkan diri pada Allah saat kita sedang baik-baik saja dan waspada.
Karena hidup tak selamanya bahagia, tapi juga penuh duka dan rasa kecewa. Anak-anak pun perlu tau itu. Agar mereka siap dan kuat menghadapinya.

Ketika dirundung duka, yakinlah segalanya akan segera pergi. Dan ketika sedang bahagia, bersiaplah agar tak terlena dunia.
Badai pasti berlalu, tapi badai pasti datang. 





*Alektorophobia : Takut pada ayam.
* Cynophobia : Takut pada anjing

1 komentar:

  1. Persiapan memanglah salah satu senjata yg paling diandalkan. Dirimu member senjata itu kepada anak-anakmu nanti. Kayi dan Mirkal anak-anak pandai berhati baik. Semoga mereka selalu siap dengan apapun yang akan mereka hadapi dalam hidup.
    Saya juga termasuk orang yang suka kaget ketika hal tak sesuai dengan apa yang saya mau, sampai sekarang masih belajar ikhlas menghadapinya. Tapi itu semua bagian dari hidup. Yang penting menjalaninya dengan gembira dan penuh syukur. Dan melihat semua kesempatan dengan bahagia. Make the most of it! Masih belajar supaya maksimal juga. Terkadang masih suka manyun. Tapi pas ngaca, memang bibit aku seksih begini #lalunarsis

    BalasHapus